Tampilkan postingan dengan label PARENTING. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PARENTING. Tampilkan semua postingan

Ada Saat Tanpa Gadget dalam Parenting Versiku


Anak-anak saya adalah generasi Z, Z-1 lahir tahun 2003, Z-2 lahir tahun 2012. Menurut teori Kohor Generasi mereka ini dikenal dengan istilah Gen-Z.  Generasi Z lahir kala internet sudah menjadi keseharian. Sejak kecil mereka terbiasa dengan gadget dan arus informasi terus menerus menerpa dari media sosial. Walhasil gen-Z memiliki rentang fokus yang lebih pendek. Namun kelebihannya mereka lebih multitasking. Misalnya,  Z-1 ini bisa belajar daring sambil mendengarkan musik. Mengerjakan tugas di laptop sembari berbalas chat di handphone. Bahkan bisa pula keempatnya sekaligus. Belajar dan mengerjakan tugas di laptop sembari mendengarkan musik dan masih sempat pula membalas guyonan di grup WA. Waow!

Z-2, si delapan tahun,  karena sudah memiliki waktu khusus untuk menonton YouTube, (tentu saja dengan pengawasan orang tua), menjadi anak yang super kritis dan ceriwis bukan main. Apalagi di masa sekolah daring ini. Ada saja pertanyaan dan kosa kata baru yang muncul darinya setiap hari.

Gaya pengasuhan yang saya terapkan pada kedua anak ini tentu memiliki perbedaan dengan metode yang diterapkan kakek neneknya terhadap saya. Bahkan dalam setiap keluarga pasti berbeda karena karakteristik manusianya pun tidak sama. Suatu aturan yang diterapkan dan berhasil berjalan baik di keluarga A, belum tentu memberi hasil yang sama pada keluarga B. Oleh karena itu pola pengasuhan atau parenting ini bisa dikatakan personal, unik, dan merupakan seni tersendiri. Pengasuh dan anak yang diasuh, sama-sama saling belajar dan berkembang sesuai kondisi dan situasi.



Dari generasi ke generasi, pola pengasuhan mengalami perubahan. Terutama karena faktor lingkungan, kemajuan teknologi dan pendidikan. Saya mengamati gaya parenting teman-teman kerja dan teman-teman dekat saya di luar lingkungan kerja. Kemudian saya bandingkan dengan gaya parenting versi saya sendiri. Hasilnya, banyak perbedaan, namun ada beberapa hal pokok yang sama dan selalu diterapkan dalam pengasuhan buah hati.

 

Usahakan Waktu yang Berkualitas

 

            Siapa bilang ibu bekerja tidak bisa memberikan pengasuhan sebaik ibu rumah tangga? Nangis keras saya, kalau dikatakan demikian. Dulu waktu anak-anak masih kecil, saya sering menghitung waktu, berapa jam dia bersama pengasuh, berapa jam bersama saya. Saya kalah jumlah, oke, itu pasti,  karena pukul 9-5 saya di kantor. Tapi setelah pulang kerja, semua urusan anak, saya pegang. Mulai dari mandi sore, makan, belajar, main, hingga tidur. Pelajaran yang paling mendasar seperti membaca, mengaji, dan hitungan dasar, sekuat tenaga saya ajarkan sendiri. Katanya, ibu adalah sekolah yang pertama. Saya ingin menjadi sekolah pertama untuk anak-anak. Hmmm..obsesif dan ambisius ya? Sedikit, sih. Karena perasaan bersalah meninggalkan mereka demi pekerjaan membuat saya membuat kompensasi sedemikian. Saya berusaha membangun kedekatan dengan anak-anak dengan memberikan waktu yang berkualitas pada mereka. Sebisa mungkin jalin komunikasi dua arah dengan anak-anak. Kenapa dua arah? Karena anak-anak pun berhak menyuarakan pendapatnya. Apalagi anak-anak zaman now yang lebih kritis dan pandai berargumen.

 

Waktu Tanpa Gadget

 

            Karena mereka berdua adalah gen-Z, kini, aktivitasnya tak lepas dari gadget. Apalagi masa pandemi mengharuskan belajar jarak jauh. Mau tak mau harus berhadapan dengan laptop dan handphone. Mulanya anak-anak suka keterusan main game atau melihat YouTube. Bahkan saat makan pun, HP masih saja menemani. Oleh karena itu di rumah kami ada peraturan “No Gadget Time”. Ada waktu-waktu tertentu yang tidak diperbolehkan berhaperia. Saat makan, misalnya. Makanan harus dinikmati dengan benar. Makan bersama adalah momen-momen penting yang bisa menjadi sarana mengobrol, berdiskusi, atau sekedar bercanda dengan keluarga. Oleh karenanya kami sepakat tidak ada gadget dalam ritual makan bersama. Hal ini selain membangun ikatan antar anggota keluarga, juga untuk detoks digital harian bagi kami semua. Tak dipungkiri, arus informasi dari media sosial yang begitu banyak dan deras, kadang tak memberi jeda otak untuk beristirahat. Waktu tanpa gadget juga berlaku saat siap tidur malam. Biasanya saat ini digunakan untuk bercerita, ngobrol tentang keseharian.  

 

Miliki Aktifitas Rutin Bersama-sama

 

            Ikatan batin dalam keluarga sudah terbentuk secara alamiah, namun kekompakan dan kasih sayang antar sesama anggota keluarga harus selalu dipupuk. Rumah harus menjadi “rumah” bagi jiwa dan raga setiap penghuninya. Anak-anak harus mendapatkan rumah yang damai, tentram dan bahagia, yang tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan fisik, namun juga kesehatan mentalnya. Aktifitas rutin bersama keluarga bisa meningkatkan kekompakan dan kasih sayang. Ibadah bersama adalah contoh yang paling dekat. Saat sesudah sholat,misalnya, bisa menjadi waktu yang tepat bagi orang tua untuk memberi beraneka nasehat kehidupan. Selain beribadah bersama, juga bisa melakukan olah raga berbarengan. Sekali waktu luangkanlah berwisata atau travelling sekeluarga. Selain menyegarkan pikiran, travelling bersama keluarga juga mampu meningkatkan kasih sayang dan kekompakan.

           

            Tidak ada sekolah khusus bagi orang tua dalam mengasuh anak. Ikhlas dalam mengurus anak dan keluarga akan menjadikan orang tua pun bahagia menjalankan perannya. Anak yang bahagia berasal dari ayah dan ibu yang bahagia pula. Seorang anak adalah peniru ulung, maka mereka lebih mudah meniru apa yang dilakukan orang tuanya daripada rentetan nasehat panjang.

"Kemampuan orangtua mendidik anak ada batasnya. Sedangkan pintu pertolongan Allah tiada terbatas. Maka iringi proses mendidik anak dengan doa." (Aa Gym)


Tulisan ini diikutsertakan dalam 30 Days Writing Challenge Sahabat Hosting



Foto dari Pixabay


SUDAH ADILKAH KITA KEPADA ANAK?

 

Terbersit pertanyaan ini dalam hati saya ketika membaca sebuah artikel  parenting.  Tiba-tiba teringat nasi goreng tadi pagi. Adilkah saya ketika masing-masing anak mendapatkan satu telur mata sapi di nasi gorengnya, sementara anak saya yang pertama adalah usia SMU dan yang bungsu masih kelas 2 SD? Hmmm…adil itu susah susah gampang ya..  

Adil bukanlah sama rata sama rasa. Tapi bersikap adil itu menempatkan segala sesuatu sesuai tempat dan porsi kemampuannya serta memberikan sesuatu kepada orang yang berhak menerimanya.

Berikut beberapa hal yang perlu diketahui agar ayah ibu bisa bersikap adil pada anak.

SELALU BERI PENJELASAN PADA ANAK

Kita ambil contoh kasus pemberian hadiah. Hal ini kerap menjadi pemicu kecemburuan antar anak. Sebaiknya ayah dan ibu memberi pengertian atau alasan pemberian hadiah. Misalnya karena ulang tahun. Selain itu, hadiah bisa dibahasakan bukan sebagai hadiah, tapi katakan untuk sarana belajar. Jika si Kakak membutuhkan laptop untuk menyelesaikan tugas online nya, belum tentu adiknya juga harus dibelikan. Si kecil sebaiknya diberi pengertian bahwa tugas sekolahnya bisa dikerjakan dengan ponsel dan belum sebanyak tugas kakak. Andai laptop ini dilabeli dengan hadiah karena kakak rajin sekolah, tentu akan menimbulkan iri hati bagi adiknya.

MEMBERI TANGGUNG JAWAB SESUAI USIA

Percayakan suatu tugas pada anak sesuai usianya dan biarkan mereka bertanggungjawab pada tugas tersebut. Ada anak yang memang sifatnya  ringan tangan mau membantu pekerjaan rumah tangga. Namun bukan berarti dia harus melakukan semua tugas sementara saudaranya bersantai melihat televisi. Berikan tugas rumah kepada masing-masing anak dan ajarkan hal-hal sederhana yang berguna bagi mereka sendiri kelak, seperti menyapu lantai, mencuci piring, mencuci baju atau sekedar memasak mie instant. Hal ini selain mencerminkan sikap adil, juga mendidik anak untuk mandiri. Contoh lain misalnya uang saku, nominal yang dibutuhkan anak SD tentu jauh berbeda dengan kebutuhan anak SMU. Demikian juga dalam hal perlengkapan sekolah, baju dan lain-lainnya.

BERI PERLAKUAN YANG SAMA

Ada kecenderungan orang tua untuk menuntut anak yang lebih besar agar lebih mau mengalah pada saudaranya yang lebih kecil. Sering orang tua meminta anak sulungnya lebih mengutamakan adik atau bahkan jika ada pertengkaran, selalu anak yang lebih besar yang disalahkan. Hal ini tidaklah tepat. Jika orang tua selalu memintanya untuk berkorban, bukan tidak mungkin akan menimbulkan rasa tidak puas bahkan membenci keluarganya. Sebaiknya pahamilah situasi dan jadilah hakim yang adil dalam perselisihan antar anak.

 

TUNJUKKAN RASA SAYANG ITU

Ketidakadilan dalam kasih sayang kadang tak sengaja dilakukan oleh orang tua. Mereka tidak menyadari bahwa diam-diam anak sulung merasa tersisih sejak kelahiran adiknya. Peluk cium,kalimat-kalimat buaian yang dulu biasa mereka dapatkan, kini seolah hanya untuk adik. Dia diharapkan menjadi dewasa, tidak cengeng, tidak penakut, dan lain-lain tuntutan. Padahal anak sulung pun pasti sangat membutuhkan sentuhan kasih sayang orang tua. Jika anak telah besar, tunjukan bahasa kasih dengan sering mengajak mereka diskusi atau libatkan dalam pengambilan keputusan keluarga. Jika anak yang lebih besar melakukan kesalahan, janganlah memarahinya langsung di hadapan adik-adiknya karena  ini melukai harga diri mereka.

Menjadi orang tua adalah ujian kesabaran seumur hidup. Namun pahalanya pun akan luar biasa bila kita mampu mengemban amanah Allah ini dengan sebaik mungkin. Yuk ayah bunda, kita sepakat untuk menjadi orang tua yang lebih adil dan bijaksana.

Brothers Boys Man Brothers - Stock Illustration [41112093] - PIXTA